Rabu, 16 Juni 2010

Mencermati Objek Wisata Zaman Prasejarah di Kabupaten Kuningan

Kabupaten Kuningan memiliki keragaman objek wisata yang cukup potensial dan menarik untuk ditawarkan pada para wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Salah satunya adalah keunikan budayanya, sejak jaman prasejarah sampai di zaman moderen sekarang ini. Ada unsur-unsur budaya yang sampai kini masih melekat di masyarakat kabupaten Kuningan. Antara lain kepercayaan, agama, bahasa, acara ritual keagamaan dan sebagainya.


Dari buku “Sejarah Kuningan” yang ditulis oleh Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (Kiblat, 2003), saya tertarik untuk mengemukakan beberapa hal yang menyangkut budaya zaman baheula ribuan tahun sebelum masehi. Gambaran ini membuktikan, bahwa ternyata kabupaten Kuningan sejak zaman Prasejarah telah memiliki keunikan budaya yang bisa dijadikan objek wisata budaya, maupun sebagai lahan penelitian para budayawan dan antropolog.

Secara administratip pemerintahan, kabupaten Kuningan merupakan nama sebuah daerah kabupaten dalam lingkup Propinsi Jawa Barat. Terletak di bagian ujung timur Jawa Barat sehingga berbatasan dengan wilayah Propinsi Jawa Tengah. Di sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan daerah Kabupaten Cirebon, di sebelah barat dengan daerah Kabupaten Majalengka, di sebelah selatan dengan daerah Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Cilacap, serta di sebelah timur dengan daerah Kabupaten Brebes.

Adapun tapal batas alamnya berupa Gunung Ciremai di sebelah barat, Sungai Cijolang di sebelah selatan, Situ Marahayu di sebelah timur, serta Sungai Cisang­garung dan sebagian jalan Caracas - Sindanglaut di sebelah utara. Luas daerahnya sendiri adalah 1.178,57 km2 atau 117.857,55 ha yang terdiri atas pegunungan dan dataran tinggi (720-266 m) di bagian barat dan selatan serta dataran rendah (222-120 m) di bagian utara dan timur.

Beberapa tempat dibagian barat pemandangannya indah, tanahnya subur, serta mengandung banyak sumber air, termasuk sumber air panas, dan banyak pula mengandung nilai legendaris dan historis. Tempat-tempat semacam ini, karenanya, memiliki potensi sebagai objek wisata, di samping sebagai lahan pertanian dan perikanan.

Berdasarkan penemuan benda-benda budaya yang merupakan peninggalan dari zaman purbakala atau zaman prasejarah, dapat diketahui bahwa sejak sekitar 4500 tahun yang lalu di daerah Kabupaten Kuningan telah ada kehidupan manusia. Pada masa itu manusia-manusia yang menetap di daerah Kuningan telah mampu mempertahankan dan mengembangkan hidup mereka baik secara perseorangan maupun secara berkelompok. Tentu mereka sudah memiliki mata pencaharian, sistem kepercayaan, dan organisasi sosial sendiri.

Mereka telah bercocok tanam, mempercayai adanya kekuatan gaib pada roh nenek moyang (animisme) dan benda benda tertentu (dinamisme). Pemimpin mereka muncul dari kalangan mereka sendiri yang dipandang paling baik (primus interpares). Arwah para pemimpin mereka itulah yang kemudian dijunjung tinggi dan dipuja dalam acara ritual keagamaan mereka.

Benda-benda budaya dimaksud adalah berupa artefak prasejarah seperti beliung persegi, belincung, kapak, peti kubur, patung, gelang, manik-manik, meja, menhir, bangunan berundak, dan lesung yang semuanya terbuat dari batu. Juga periuk, kendi, dan mangkuk sayuran yang terbuat dari tanah (gerabah) dengan diberi hiasan dan polos. Ada pula kapak kecil yang terbuat dari perunggu (logam). Sebagian benda budaya tersebut ditemukan di atas permukaan tanah, sebagian lagi diperoleh dari hasil penggalian (ekskavasi).

Penggalian, antara lain dilakukan oleh Lembaga Purbakala yang kemudian berubah nama menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di desa Cibuntu Kecamatan Mandirancan tahun 1967 dan 1971 serta di kampung Cipari, desa/Kecamatan Cigugur tahun 1972. Penemuan lainnya didapatkan di beberapa tempat, terutama di sepanjang lereng timur Gunung Ciremai, seperti Sagarahiang, Cangkuang, Cimara, Subang.

Benda-benda budaya ini berasal dari (1) zaman kebudayaan batu baru (Neolithicum), yaitu zaman tatkala alat-alat hidup manusia terbuat dari batu dan pembuatannya sudah diasah sehingga hasilnya halus dan tajam, serta (2) zaman kebudayaan batu besar (Megalithicum), yaitu zaman tatkala banyak benda budaya dibuat dari batu berukuran besar. Pada zaman kebudayaan batu besar ditemukan pula perlengkapan hidup yang terbuat dari logam (besi dan perunggu).

Kebudayaan batu baru (Neolitik) di daerah ini hidup sekitar 4500 - 3500 tahun yang lalu (2500 - 1500 sebelum Masehi), sedangkan kebudayaan batu besar (Megalitik) hidup sesudah zaman itu sampai abad-abad pertama Masehi. Jenis kebudayaan ini ditemukan pula di beberapa daerah di Tanah Sunda (Jawa Barat, Jakarta, dan Banten), seperti di Pandeglang, Lebak, Tanggerang, Kelapa Dua (Jakarta), Karawang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Ciamis. Bahkan di tempat-tempat tertentu beberapa unsur kebudayaan batu besar (megalit) masih hidup sampai beberapa abad kemudian.

Berdasarkan penemuan-penemuan benda budaya tersebut diatas, kondisi lokasi penemuannya yang umurnnya di lereng timur Gunung Ciremai, dan tingkat peradaban hidup manusia pada zamannya, tampak bahwa pada zaman prasejarah kelompok manusia di daerah Kuningan menetap di sekitar sumber air baik berupa mata air alam maupun berupa aliran sungai. Cara hidup mereka sudah mulai menetap hingga betulbetul menetap di satu lokasi tertentu.

Sumber kehidupan mereka diperoleh sejak dari memanfaatkan bahan minuman (air bersih) dan bahan makanan yang telah tersedia di alam yang berasal dari tanaman (daun, bunga, buah, umbi) dan binatang (daging, kulit) hingga mengolah kekayaan alam itu sendiri (pertanian, berburu, beternak).

Mereka telah mengenal kepercayaan kepada yang gaib sebagai cikal-bakal agama mereka. Mereka percaya bahwa arwah nenek moyang mereka, terutama kalangan pemimpin masyarakat mereka yang telah meninggal dunia, menjadi yang gaib dan memiliki kekuatan gaib yang mempengaruhi hidup mereka di dunia. Arwah arwah leluhur mereka itu yang telah ada di alam gaib menempati tempat yang tinggi lokasinya dan benda-benda yang luar biasa ukurannya, kemanfaatannya, dan lokasinya.

Oleh karena itu, dipercayai pula bahwa benda-benda tersebut (batu, pohon, mata air, bukit, gunung, dan lain-lain) memiliki kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa yang gaib dengan kekuatannya bisa mendatangkan pengaruh terhadap kehidupan mereka baik yang positif maupun yang negatif, tergantung kepada perlakuan mereka terhadap arwah leluhur itu. Jika mereka memperlakukan arwah leluhur secara baik, maka pengaruh baik yang akan datang, seperti bahan makanan banyak, hasil pertanian melimpah, kehidupan aman tenteram. Akan tetapi, jika arwah leluhur diperlakukan tidak baik, maka akan datang gangguan alam (seperti: banjir, petir, kebakaran hutan, gunung meletus, binatang mengamuk), pertanian dan peternakan gagal, wabah penyakit merajalela.

Perlakuan baik terhadap arwah leluhur itu, menurut kepercayaan mereka, berupa melakukan upacara ritual dengan menyampaikan persembahan dan pemujaan pada waktu-waktu tertentu di tempat yang telah dipersiapkan oleh mereka. Salahsatu tempat upacara ritual itu ialah punden berundak. Yang dimaksud dengan punden berundak adalah kompleks bangunan yang disusun secara berundak (bertingkat) dan terbuat dari batu besar yang di dalamnya ada menhir (batu tegak), meja batu, peti batu, dan lain-lain.

Bentuk kompleks punden berundak berporos arah timur-barat mengikuti arah perjalanan matahari yang selalu terbit di sebelah timur, kemudian bergerak melintasi dunia, dan terbenam di sebelah barat. Perjalanan matahari demikian menggambarkan perjalanan hidup manusia. Matahari terbit menggambarkan kelahiran manusia, gerakan matahari dari timur ke barat menggambarkan perjalanan hidup manusia di dunia, dan terbenamnya matahari di ufuk barat menggambarkan kematian manusia. Contoh bentuk kompleks punden berundak adalah kompleks Taman Purbakala di Cipari, kabupaten Kuningan.


Sumber :
Dr Rochajat Harun Med
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=15&jd=Mencermati+Objek+Wisata+Zaman+Prasejarah+di+Kabupaten+Kuningan&dn=20090219163939
17 Juni 2010
Bandung, 19 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar